Jakarta, bimasislam— “Nikah di bawah tangan (Nikah Sirri)melahirkan problem kependudukan, baik bagi perempuan dan anak-anaknya juga bagi persoalan kependudukan secara umum”, demikian tegas Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar saat memberikan arahan dan masukan tentang Isu-isu Perempuan dan Anak di dalam Undang-undang Perkawinan dari Perspektif Kementerian Agama hari Selasa (25/3) kemarin. Bagaimana tidak, lanjutnya, perkawinannya saja tidak tercatat secara resmi maka akan kesulitan bagi seorang isteri menuntut hak-haknya, begitu pula status anak-anaknya secara resmi. Dan pada akhirnya, statistik kependudukan pun akan bermasalah dengan adanya kasus pernikahan yang tidak tercatat seperti itu.
Pakar Tafsir Gender ini menguraikan, soal pernikahan di bawah umur
(pernikahan dini) juga menjadi isu yang terkait dengan perempuan dan
anak-anak yang perlu dicermati dalam Undang-undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974. Dua isu itu, ungkap Nasar, sengaja disoroti sebagai upaya
kita untuk menempatkan perempuan dan anak-anak sebaik mungkin di depan
hukum nasional kita. Bukan sebelumnya tidak baik, melainkan meninjau
kembali produk hukum 40 tahun lalu itu bila dilihat dengan sudut pandang
konteks sosial kita sekarang ini. Upaya itu sangat wajar untuk
dilakukan dengan kurun waktu yang sudah begitu lama, imbuhnya dengan
lugas.
Dalam UU Perkawinan disebutkan bahwa ketentuan usia laki-laki
diperbolehkan untuk melakukan ikatan pernikahan adalah 19 tahun,
sedangkan bagi perempuan 16 tahun. Ketentuan ini bisa saja ditinjau
ulang, jangan-jangan perkembangan “kematangan” anak-anak kita sekarang
sudah berbeda dengan zaman kita dulu, jelas Guru Besar UIN Jakarta ini
bersikap kritis.
Hanya saja, ingat Wamen, apapun yang kita cermati pada UU Perkawinan --
hasil jerih payah para pemimpin dan ulama kita dahulu ini -- jangan
sampai tidak menggunakan bahasa agama. Kita harus menyadari keberadaan
masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam dan seringkali menjadikan
hukum syariát sebagai rujukannya.
Acara yang disponsori oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ini diadakan di Ruang RA Kartini Lantai 8
Gedung Menara Merdeka Jakarta Pusat, yang dihadiri oleh seluruh eselon 1
sampai eselon 3 Kemen PPPA. Forum khusus untuk Wakil Menteri Agama ini
diselenggarakan dalam rangka menyiapkan Laporan Tengah Periode “Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women”
(CEDAW). Salah satu topik yang diangkat oleh Komite CEDAW dan perlu
ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia adalah seputar isu-isu perempuan
dan anak di dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (edijun/foto:bimasislam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar